TAKZIRAN: ANTARA
GELAP DAN TERANG
Oleh: Alif Nurlailinda Lestari
“Farah,
kok kamu ngelamun?”Suara mbak Lana memecah lamunanku.
“Ayo,
lanjutin. Masih bayak tugas yang harus kamu selesaikan.” Pintanya.
Dengan peluh bercucuran, aku kembali menjemur
pakaian keluarga ndalem. Aku selalu merasa aneh dengan hari-hari yang aku
jalani sekarang. Aku merasa diawasi oleh tatapan yang seakan-akan ingin
menerkamku.
***
Karena
kesalahan yang aku lakukan, setiap hari aku harus menjalani takziran yang berat selama tiga bulan. Tapi aku berusaha kuat, tabah, dan berkhusnudzon
kepada Allah atas segala yang telah aku lakukan. Memang hukuman yang aku jalani
berbeda dengan hukuman santri yang lain. Aku harus mencuci piring, mencuci
baju, nyapu, menata kitab-kitab dan sandal romo kyai. Ya, memang seperti ini
takziran yang aku jalani, yaitu ngabdi di ndalem romo kyai. Bukan hanya itu, aku
tidak boleh disambang oleh orang tuaku selama aku menjalani masa takziran.
“ Far, aku boleh tanya sesuatu? ”
Aku kenal suara itu. Itu adalah Sarah sahabat dan teman sekamarku.
“Eh,
Sarah. Bikin kaget aja. Mau tanya apa?” Sahutku sembari melipat bajuku.
“Emmm.. Aku minta maaf ya kalau aku sedikit lancang
bertanya hal ini sama kamu.”
Aku
berusaha menebak apa yang akan ditanyakan
Sarah padaku. “Maaf Sarah, aku lagi buru-buru. Soalnya habis ini aku harus
cepetan ke ndalem. Masih banyak tugas yang harus aku selesaikan.” Aku mencari alasan. Ini pasti mengenai alasan mengapa aku ditakzir seberat ini.
Tanpa
berbicara panjang lebar aku bangkit dari tempatku. Tiba-tiba Sarah menghentikan
langkahku.
“Far, jangan menghindar. Jawab Far! Ada apa ini, kenapa kamu menghindar setiap aku
menanyakan hal itu? Kamu tidak mau menceritakan bebanmu padaku? Kenapa kamu
merahasiakannya? Apa kamu udah tidak menganggap aku sebagai sahabat? Jawab Farah!” rentetan pertanyaan Sarah menikam hatiku. Membawaku semakin jauh merasakan masa
kelam ini.
“Apa maksud kamu? Aku tidak mengerti.
Aku sudah berkali-kali bilang, bahwa aku tidak
mau membahas hal ini. Kamu ngerti gak sih.
Sudahlah, aku capek.” Aku pergi
meninggalkan sahabatku yang tertegun mendengar perkataanku. Aku tahu, dia pasti
sangat kecewa. Tapi aku harus tetap menyembunyikan hal ini.
Memang semua santri tidak ada yang tahu
seberat apa kesalahan yang aku lakukan kecuali keluarga ndalem, pengurus dan
orang tuaku tentang alasan mengapa aku ditakzir dengan cara seperti ini
sehingga aku memakai kerudung takziran berwarna hitam dan dipindah menjadi anak
ndalem. Jika saja
mereka tahu, tentu mereka kaget bagaimana bisa aku melanggar peraturan pondok.
Bukan hanya peraturan pondok, tetapi aturan agamaku. Aku yang dikenal pandai
dalam semua pelajaran khususnya pelajaran diniyah. Aku yang akrab disapa ‘Ning
Farah’ oleh sebagian temanku. Aku yang dikenal sebagai anak seorang kiai. Aku yang
begitu kritis dan tegas jika ada ketidakberesan di sekitarku. Tapi kini, tidak
ada kekuatan. Aku malu meski hanya untuk menengadah ke langit. Aku malu dengan
kebodohan yang tidak aku sadari.
Saat itu darah mudaku
penuh gejolak. Antara rasa suka yang kupupuk menjadi cinta. Sampai aku sendiri
tidak bisa mengendalikannya. Ah, sosok lelaki terlintas lagi di pikiranku. Shobrun.
Santri pondok putra yang seangkatan denganku. Kata-katanya yang indah dan melenakan
telah membuatku lalai. Dan parahnya aku menikmatinya! Ingin rasanya aku
menghapus ingatan tentang itu semua. Jangan sampai nafsu merajai hatiku kembali
hingga aku terperosok untuk yang kedua kali.
***
Sejak peristiwa itu, Sarah tak
pernah menemuiku. Meskipun bertemu, itu pun karena
tak sengaja. Tapi, dia tak pernah mau berbicara padaku. Aku tahu betul kecewanya sangat besar. Aku jadi bingung antara
tetap merahasiakan ini atau menceritakannya.
Dalam lamunanku tiba-tiba Mbak Lana
datang dan mengagetkanku. “Far? Lho alah kamu ngelamun lagi ya? Jangan kebanyakan ngelamun, nanti kesambet
lho!”
“Eh, Mbak Lana. Tidak, kok, Mbak. Emmm... Ada
mbak, kok tiba-tiba dateng ke sini?”
Tanyaku pada ketua pondok putri itu.
“Kamu dicari Bu Nyai. Ini kan
jadwalnya kamu ngaos dan setoran sama ibu. Makanya mbak ke sini
mau gantiin
kamu nyuci piring.”
“Ya Allah, Farah lupa mbak. Ya wes,
aku pergi dulu, Mbak.”
“Eh tunggu, kamu udah sholat, kan?”
Tanya Mbak Lana.
“Sampun,
Mbak. Tadi jamaah sama mbak-mbak ndalem.” Jawabku sembari mencuci tangan.
Aku segera mengambil kitab dan
nadhom. Kemudian menuju kamar
Bu Nyai. “Assalamu’alaikum” aku mengucap salam sembari mengetu pintu kamar Bu
Nyai.
“Wa’alaikumsalam. Ayo masuk nduk.”
Ini dia rutinitasku setiap hari.
Sejak di takzir dan menjadi anak ndalem, setiap ba’da isya’ aku selalu ngaos dan
setoran alfiyah kepada Bu Nyai. Beliaulah yang selama ini membimbing,
menasehati, dan mendengarkan ceritaku. Meskipun dalam kodisi sakit beliau
selalu menjadi penguatku. Aku beruntung, karena ditakzir
aku masih bisa merasakan nikmatnya mengabdi.
Tak jarang, banyak mbak-mbak dan santri yang lain menjulukiku abdi dan putrinya Bu Nyai Arifah.
Setelah ngaos selesai, aku tidak
langsung keluar dari kamar beliau. Aku mendengar cerita dan nasihat-nasihat beliau.
“Nduk,
dari tadi Ibu perhatikan wajahmu murung. Kamu ada masalah lagi?” Tanya beliau. Beliau begitu perhatian dengan santrinya
yang telah melakukan perbuatan yang hina. Beliau memang sangat akrab dengan
Abah dan Umiku. Sudah lumrah jika sesama pengasuh pondok satu akrab dengan
pengasuh pondok lainnya.
“Mboten, Bu Nyai.” Jawabku
berbohong pada beliau.
“Kamu
jangan bohong sama ibu. Ibu tahu semua tentang kamu. Pasti masalah sama temenmu
yang namanya Sarah kan?”
Mataku
terbelalak mendengar apa yang diucapkan Bu Nyai Arifah. Aku bingung mengapa
beliau bisa mengetahui semua masalahku dan siapa yang aku pikirkan.
Entahlah, mungkin itu karamah dari Allah untuk beliau. Namun aku hanya diam,
tak menjawab satu kata pun.
“Nduk,
dia sahabat baikmu kan? Apa kamu
percaya sama dia?” Tanya beliau,
memecah keheningan hatiku.
“Farah
tidak
tahu, Bu. Farah bingung. Memang Sarah adalah sahabat saya. Tapi, Farah tidak
bisa langsung parcaya begitu saja. Farah takut kalau Sarah keceplosan. Bukan
hanya Sarah yang ingin tahu, tapi semua santri ingin tahu masalah Farah.”
Jawabku tertunduk.
“Sholat,
minta sama Gusti Allah agar kamu diberi petunjuk.”
Setelah berbincang-bincang dengan Bu
Nyai, aku kembali ke kamar. Kemudian aku mengambil air wudhu untuk melakukan
sholat tahajjud. Memang dalam masa kegelapanku ini, aku banyak menemukan cahaya
di dalam kehidupanku. Hari-hariku semakin bertambah baik. Meskipun ada banyak
beban yang aku pikul sekarang.
Dalam
sholat tahajjud, aku merasa tenang, ditambah kesyahduan malam seakan membawaku
dalam dekapan Sang Ilahi. Aku berdoa dan menceritakan semua masalah yang kuhadapi.
Karena aku tahu, bahwa hanya Allah yang dapat memberikanku petunjuk. “Ya Allah, hamba
bingung, apakah hamba harus cerita masalah ini kepada
Sarah atau tidak. Hamba saja masih belum yakin apakah Abi dan
Umi di rumah sudah memaafkan hamba. Hamba memang butuh teman untuk bercerita.
Tapi, hamba juga belum siap jika nantinya banyak orang yang tahu tentang
masalah ini.” Aku terus menangis dalam doaku. Air mata terus mengucur deras.
Kemudian
aku lanjutkan dengan sholat taubat. Dengan harapan yang kuat Allah akan mengampuni
semua dosaku. Dengan mata yang masih sembab aku tetap kokoh dalam pelukan-Nya.
Dengan
suara yang sesenggukan aku tetap memohon ampuna-Nya.
“Ya Allah... Hamba mohon ampunan-Mu.
Hamba tahu, beribu sholat dan doa yang hamba lakukan, itu semua tiada arti kecuali
dengan ampunan dan ridho-Mu Ya Rabb..
Hamba tahu hamba salah dengan melakukan pacaran di luar batas sewajarnya.
Padahal Engkau telah melarangku untuk tidak mendekati zina. Tapi, hamba malah
mendekatinya. Hamba mohon ampun Ya Rabb... Hamba telah merusak nama baik serta
amanah dan kepercayaan orang tua hamba. Meskipun mereka telah memaafkan hamba.
Tapi hamba tahu mereka pasti sangat kecewa pada hamba atas apa yang telah hamba
lakukan. Semoga Abah dan Umi
memaafkan hambamu ini Ya rabb.. Hamba tidak mau kehilangan surga hamba. Hamba
hanya dapat mencurahkannya pada Mu. Meskipun hamba ingin menceritakan hal ini
pada sahabat hamba. Tapi hamba takut dia akan kecewa dan tidak mau menjadi
sahabat hamba lagi. Karena hamba juga sudah merusak kepercayaannya.” Aku tak
kuasa menahan tangisku. Aku berhenti sejenak dan melanjukan perbincanganku lagi
bersama penciptaku.
“Sarah
selalu berkata pada hamba, bahwa dia tidak mau mempunyai teman yang tangan,
bibir, atau anggota tubuhnya yang lain telah dipegang oleh laki-laki. Tapi hamba
telah melanggar kepercayaannya. Bibir
hamba telah disentuh seorang laki-laki yang sejak hamba ditakzir hamba
memutuskan hubungan dengannya.”
***
Malam
panjang yang telah aku lalu tadi malam, sedikit mengurangi bebanku.
“Far.”
Aku kenal suara itu. Itu suara Sarah.
Aku
menoleh dengan cepat. “Ada apa, Sar?” tanyaku dingin.
Aku tidak menyangka, tiba-tiba Sarah memelukku erat. Di depan kamar
mandi hanya ada aku dan Sarah, tanpa ada seorang pun
yang lalu-lalang.
“Kenapa
Sar? Kenapa kamu memelukku?” Tanyaku pada Sarah.
“Maafkan
aku Far. Aku bukan sahabat yang baik. Aku bukanya menguatkanmu dalam melalui
masalahmu, malah aku terus menghujanimu dengan pertanyaan yang tak karuan.”
Ucapnya dengan menangis.
“Apa
maksudmu?” aku kebingungan dengan ucapan Sarah. Apakah dia sudah tahu, tanyaku dalam hati.
Sarah
melepaskan pelukannya dan berkata, “Aku
sudah
tahu alasan dan sebab kamu ditakzir. Tadi malam aku melihat dan mendengar semua
keluh kesahmu pada Allah saat kamu sholat.
Kenapa kamu menganggap aku tidak akan
mengganggap kamu sahabatku lagi dengan masalah ini? Ya aku tahu, aku pernah
mengatakan hal itu. Tapi mana mungkin aku tega meninggalkanmu sendiri, aku
yakin Allah dan orang tuamu pasti memaafkan semua kesalahanmu. Aku yakin itu. Aku
juga berjanji akan selalu di sampingmu. Aku juga berharap, kamu tidak mengulangi hal ini lagi.” Semua perkatannya seperti oase di tengah
hatiku yang gersang. Aku
sangat terharu mendengar ucapan Sarah.
“Tapi
Far, aku tahu kamu memang tertarik dengan sosok
Shobrun. Tapi tidak tahu jika hubunganmu sampai sejauh itu.” Ada kekecewaan di
matanya. Aku tidak bisa menjawab. Memang aku merahasiakan kedekatanku dengan
Shobrun beberapa bulan terakhir.
“Gimana
pengurus bisa tahu tentang ciuman itu?”
“Aku
kepergok pengurus saat aku disambang dan diajak Abi makan di salah satu rumah makan dekap pondok. Aku tidak
sengaja ketemu dia pas aku keluar dari kamar mandi. Eh tidak sengaja tabrakan.
Ya… kamu bayangin aja sendiri. Aku juga tidak tahu kalau Mbak Lana juga
disambang dan dia ngeliat semuanya.”
“Tapi,
utung saja kamu ndak diboyong.” Guyonnya padaku.
***
Setelah
hari itu, aku semakin semangat dalam menjalankan takziranku. Aku
juga semakin semangat ngaos dan menghaFal
alfiyah. Aku merasakan perubahan yang sangat drastis dalam hidupku dari dulu
aku selalu ingin seperti Abdullah bin Mas’ud yang selalu ngabdi kepada
Rasulullah. Mungkin ini adalah cara Allah mengajariku agar aku bisa menjadi
seperti Abdullah bin Mas’ud, yaitu dengan menjadi abdi ndalem.
Setelah
takziranku selesai aku tetap menjadi abdi ndalem dan hanya ada niat ngalap
barokah. Aku tetap melakukan sholat tahajud dan sholat taubat, serta merawat Bu
Nyai sampai beliau wafat. Sudah tidak ada lagi bayangan Shobrun. Dari Sarah aku tahu dia juga
ditakzir. Tidak ada lagi hubungan di antara kami. Dia sudah pindah mondok di
Kediri. Aku sedang memantaskan diriku untuk jodohku nanti. Bukan waktunya
mengurusi cinta saat di pondok. Hanya ilmu dan ilmu.
“Farah! Ada telepon untukmu!” teriakan Sarah yang berlari
menuju kamarku.
“Siapa?”
“Shobrun.” Bisiknya lirih.
***
Komentar
Posting Komentar